Wednesday, April 19, 2006

Banda Aceh: a Tsunami Tour

Pernikahan sepupu hanya alasan saja untuk mengunjungi Banda Aceh. Sebenarnya, ada sebuah “paket” yang kuincar. Eit, bukan paket ganja, tapi paket “tsunami tour”. Jalan-jalan melihat keadaan setahun setelah tsunami menarik hatiku untuk pergi ke pernikahan sepupuku.

Untuk sekedar informasi, perjalanan dari Medan ke Banda Aceh ditempuh selama ± 13 jam, menggunakan bus CV. XXX (nama disamarkan karena blog ini bebas promosi!), berangkat pagi hari. Mungkin bila bus berangkat pada malam hari, waktu perjalanan dapat dipersingkat, karena pada malam hari jalanan menuju Banda Aceh lebih sepi dibandingkan dengan siang hari. Lamanya perjalanan didukung juga oleh sang supir yang rajin berhenti untuk menaikkan penumpang ilegal, alias penumpang yang tidak membeli tiket melalui loket-loket resmi CV. XXX.

Yang mengesalkan, aku dan sepupuku (sepupu yang lain, bukan yang akan menikah) hampir ditinggal sama bus tersebut ketika sedang berhenti makan siang. Di jalan yang berbatu dan penuh debu ditambah teriknya matahari Kuala Simpang, aku dan sepupuku berlari mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejar bus yang sudah beranjak dari tempat parkirnya. Parahnya, kejadian hampir ditinggal bus terjadi lagi ketika kami sedang makan malam. Supir bus seakan tidak peduli sama penumpangnya! Sehingga sekali lagi kami harus sedikit “berolah raga” mengejar bus yang mulai meninggalkan rumah makan. Tapi dibalik kisah sedih tersebut, perjalanan menuju Banda Aceh terasa sangat tenang, tanpa gangguan dari pihak-pihak tertentu. It's so smooth and clean...

Matahari malu-malu menunjukkan wajahnya. Sinarnya terasa hangat dibalik awan yang sedikit mendung. Akhirnya tiba waktu untuk mengikuti paket yang dinantikan, “tsunami tour”. Melihat reruntuhan bekas gempa bumi dan tsunami membuatku terbayang kejadian setahun yang lalu. Setahun lebih empat bulan tepatnya (sekarang 19 April 2006). Gempa yang memporakporandakan sebagian bumi Nanggroe Aceh Darussalam disusul dengan tsunami yang meratakan sisa-sisa reruntuhan gempa dan menelan ribuan korban jiwa.

Tapi kini Banda Aceh, tempat yang kukunjungi, mulai membenahi diri. Dengan bantuan yang diberikan oleh pemerintah maupun negara-negara asing, Banda Aceh mulai pulih. Sudah banyak pertokoan yang kembali beroperasi. Rumah-rumah sederhana telah dibangun dan mulai dihuni. Dibalik itu bukan pemandangan aneh bila kita melihat plang-plang yang menandakan negara asal bantuan seperti USAID dari Amerika, GTZ dari Jerman, juga bantuan dari Jepang, Turki, Kuwait, Inggris dan negara-negara asing lainnya. Mereka memberi bantuan tentu dengan misi mereka masing-masing dan tentu saja kita berharap misi mereka “murni” kemanusiaan…

Keadaan Banda Aceh semakin kondusif karena adanya perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI. Menurut salah seorang warga Banda Aceh, tidak terdengar lagi suara-suara tembakan antara GAM dan TNI setelah ditandatanganinya perjanjian damai. Sungguh menyenangkan hang out di tengah malam kota Banda Aceh sambil menikmati kopi Ulee Kareng tanpa ada rasa was-was.

Ada perbedaan yang mencolok bila kita bepergian di NAD dengan bepergian di propinsi-propinsi lainnya. Di sepanjang jalan menuju kota Banda Aceh, pria maupun wanita dewasa memakai pakaian yang menutup aurat, tetapi yang diwajibkan hanya penduduk yang beragama islam. Kewajiban ini merupakan salah satu penerapan syariat islam di NAD. It’s good…

Perjalanan ke Banda Aceh memang menyenangkan tetapi menyisakan sedikit penyesalan. Aku tidak bias membawa beberapa oleh-oleh seperti yang diminta oleh kerabat di Medan. Yah, selain permintaannya aneh-aneh, seperti rencong, bika ambon (sejak kapan makanan khas Medan pindah ke Aceh?), empek-empek kapal selam (yang ini mah ngawur, empek-empek tu dari Palembang!), ampe daun pening-pening (Oops…!), aku tidak sempat membeli oleh-oleh khas Aceh. Tetapi walaupun begitu, aku cuma bisa membawa sedikit keripik dari Langsa (itupun belinya ketika singgah di Langsa waktu dalam perjalanan pulang ke Medan) dan seperempat kg kopi Ulee Kareng yang menurut salah seorang teman, kopi tersebut dicampur sama daun pening-pening supaya nikmat…who knows?

Terakhir, aku berharap Aceh cepat pulih dari derita yang menimpanya. Mudah-mudahan Aceh dapat bangkit seperti Jepang yang bangkit setelah dihancurleburkan oleh dua bom atom maut pada tanggal 7 dan 14 Agustus 1945 di Hiroshima dan Nagasaki. Jayalah terus Indonesia!!!

2 comments:

Taufik said...

Please check
http://taufikjalanjalan.blogspot.com/

ada cerita tentang lokasi wisata aceh. Sebagian mungkin sudah Dani kunjungi ketika jalan kesana.

salam

taufik

Taufik said...

Hi Dani,

Jangan lupa link ke blog mas ya...
blog dani udah di taruh di list link ke blog mas

see you then in my blog