Thursday, June 05, 2008

Sikap Adil Kepada FPI (Pasca Kasus Kekerasan di Monas)

Oleh Abu Muhammad Waskito *)

Ahad 1 Juni 2008, terjadi insiden kekerasan oleh sebagian aktivis Front
Pembela Islam (FPI) terhadap sekelompok massa yang menamakan diri
sebagai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKKBB). TV-TV menayangkan tindakan kekerasan para aktivis FPI terhadap
massa AKKBB yang sedang menggelar aksi mendukung Ahmadiyyah. Disana ada
aksi pukulan, tendangan, cacian, pengrusakan fasilitas sound system,
kaca mobil, dll. Pendek kata, kita semua sangat prihatin melihatnya.

Tanpa menunggu waktu lagi, SBY langsung merespon. Melalui jubir
kepresidenan, Andi Malarangeng, SBY mengecam aksi anarkhis aktifis FPI
di Monas. Tanggal 2 Juni SBY berbicara langsung, disiarkan TV-TV, bahwa
dia menuntut ada pengusutan tuntas, dan para pelaku kekerasan ditindak
secara hukum. SBY juga menekankan, "Negara kita negara hukum." Gayung
bersambut, JK berjanji akan menindak tegas pelaku kekerasan di Monas.

MUI menyayangkan terjadinya kasus kekerasan di Monas itu (Republika, 2
Juni 2008). Sementara Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyyah, setelah
pertemuan dengan SBY, dia mengecam FPI. Meskipun Din tidak menuntut FPI
dibubarkan, dia mendukung langkah tersebut, jika Pemerintah ingin
membubarkan FPI (www.jawapos.co.id, 2 Juni 2008). Arbi Sanit, pakar
politik UI dan anggota PBHI, menuntut FPI dibubarkan karena mengancam
kehidupan bersama (Republika, 3 Juni 2008). Sekjen GP Anshor, Malik
Haramain, mengancam akan membubarkan FPI, kalau pemerintah tidak tegas.
Di Cirebon markas FPI didatangi sekelompok pemuda dan sempat terjadi
keributan kecil, hingga plang FPI dirobohkan oleh pemuda-pemuda tersebut
(berita siang GlobalTV, 2 Juni 2008).

Bukan hanya kali ini FPI diancam akan dibubarkan. Sebelumnya juga
bergaung desakan agar ormas Islam yang terkenal dengan aksi-aksi nahi
munkar ini dibubarkan saja. Pertanyaannya, layakkah kita menghukum FPI
sedemikian keras (misalnya harus sampai dibubarkan) pasca kasus
kekerasan di Monas itu? Masyarakat harus berani melihat masalahnya
secara jernih, tidak ikut-ikutan emosi.

Saya melihat ada beberapa poin penting yang dilupakan dalam kasus di
atas, padahal semua itu seharusnya dilihat secara cermat, sehingga kita
bisa mengetahui apakah FPI telah berbuat zhalim atau tidak?

Pertama, menurut Kapolres Jakarta Pusat, Komisaris Besar Heru Winarko,
beliau menyesalkan massa AKKBB. Pasalnya, mereka mulanya hanya berencana
berdemonstrasi di Bundaran HI, tetapi ternyata AKKBB beraksi sampai ke
Monas. "Ternyata, mereka menuju Monas juga," kata Kombes Heru Winarko
(Republika, 2 Juni 2008. Artikel berjudul, "Bentrokan Akibat Pemerintah
Lamban," hal. 1).

Dari keterangan di atas, jelas AKKBB telah melanggar hukum. Mereka
melampaui batas ijin aksi yang diajukan ke pihak kepolisian. Jika mereka
beraksi sesuai ijin semula, bisa jadi kasus tersebut tidak perlu
terjadi.

Kedua, dalam tayangan dokumentasi kasus Monas di GlobalTV siang hari,
disana diperlihatkan petikan kejadian-kejadian di Monas tersebut. Pada
mulanya, para pemuda FPI hanya kumpul-kumpul di salah satu lokasi Monas
sambil mendengarkan orasi pimpinan aksi yang membawa TOA. Mereka kadang
bertakbir dan juga membaca kalimat "Laa ilaha illa Allah".

Artinya, mereka tidak memiliki agenda untuk menyerang siapapun. Aksi
mereka pada awalnya tertib, tidak anarkhis. Mulai timbul masalah ketika
AKKBB melakukan aksi dan orasi dengan sound system kuat, tidak jauh dari
lokasi para aktivis FPI. Satu sisi, AKKBB mendukung Ahmadiyyah, di sisi
lain mereka melakukan aksi di dekat para pemuda FPI. Anda bisa
bayangkan, meneriakkan dukungan keras-keras untuk Ahmadiyyah di dekat
telinga aktivis FPI. Itu bisa dianggap oleh mereka sebagai nantangin
perang. Saya melihat, para pemuda FPI lebih tepat disebut terprovokasi
oleh aksi massa AKKBB. Mereka tidak ada niatan sejak awal untuk berbuat
kekerasan. Semula mereka beraksi dengan tertib.

Ketua MK, Jimly Asshidiqqie, berkomentar, "AKKBB harus mawas diri,
menghentikan provokasi, dan kemudian jajaran NU, Muhammadiyyah, sampai
ke daerah (juga harus mawas diri -pen). Begitu juga dengan FPI, tidak
usah terprovokasi, ini bahaya benar." (Republika, 3 Juni 2008).

Ketiga, kalau melihat kejadian kekerasan itu, disana terlihat dengan
jelas, bahwa komando aksi FPI di Monas berusaha keras menertibkan para
aktivisnya. Mereka berusaha mencegah pemukulan, tendangan, menenangkan
aktivis-aktivisnya. Terlihat berkali-kali sebagian pemuda aktivis FPI
mencegah tindak kekerasan itu, meskipun mereka tidak mampu mencegah
secara keseluruhan.

Jika disana terjadi kasus-kasus pemukulan, tendangan, cacian, atau
perusakan fasilitas, apakah lalu mata kita buta untuk melihat bahwa
disana juga ada upaya-upaya mendamaikan hati para pemuda yang sudah
terbakar emosinya itu? Jika tidak ada upaya mendamaikan, saya yakin akan
jatuh korban sangat banyak. Minimnya korban dalam kasus tersebut,
menunjukkan disana ada kontrol, meskipun tidak mampu mencegah aksi-aksi
individu yang terlanjur terjadi.

Selain kita menyesalkan kasus kekerasan tersebut, kita harus jujur
mengakui, bahwa para pemuda-pemuda FPI juga berusaha mencegah kekerasan
itu sekuat tenaga. Semua ini harus dihargai. Pihak kepolisian sering
berdalih, "Petugas polisi kan manusia juga." Polisi bisa khilaf,
melakukan kekerasan di luar kontrol komando. Begitu pula dengan kasus
para pemuda FPI itu. Secara komando tidak ada instruksi kekerasan,
tetapi di lapangan terjadi, karena terbakar emosi.

Keempat, jika sebagian pelaku kekerasan di Monas ditindak secara hukum,
tidak berarti lembaga FPI-nya harus dibubarkan. Itu berbeda konteksnya.
Tindakan kekerasan di Monas dilakukan oleh -sebut saja- oknum aktivis
FPI. Pelanggaran oleh oknum, tidak bisa di-gebyah uyah untuk
menghancurkan sistem sebuah organisasi. Contoh, kasus kekerasan oleh
oknum polisi di Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Ia dianggap kasus
kekerasan oleh oknum polisi, sehingga tidak perlu ada tuntutan untuk
membubarkan lembaga Polri.

Begitu pula, kalau ada kasus kekerasan oleh sebagian warga Muhammadiyyah
-misalnya-, hal itu tidak perlu dikembangkan menjadi "bola liar" untuk
membubarkan istitusi Muhammadiyyah. Kasus kekerasan oleh oknum tetap
dialamatkan kepada oknum, bukan kepada institusi.

Termasuk, ketika Munarman dijadikan salah satu dari lima tersangka kasus
di atas. Dia tetap disebut sebagai oknum, bukan sebagai lembaga FPI
secara umum. Kasus kekerasan di Monas adalah individual case, bukan
organization case. Kalau setiap kasus individu bisa menjadi dalih untuk
membubarkan sebuah organisasi, maka sikap ingkar janji SBY yang katanya
tidak akan menaikkan harga BBM sampai tahun 2009, bisa dijadikan dalih
untuk membubarkan kabinetnya.

Kelima, ketika SBY dengan lantang mengecam anarkhisme di Monas atas nama
"negara hukum", dia telah menggunakan dalil yang benar. Tetapi
seharusnya dia bersikap adil, tidak berat sebelah. Bukankah penanganan
kasus Ahmadiyyah selama ini sudah mengikuti prosedur hukum? Disana ada
Fatwa MUI, Fatwa Rabithah Alam Islamy, rekomendasi Depertemen Agama RI,
rekomendasi Bakorpakem, bahkan rekomendasi kepala-kepala daerah
tertentu. Apa semua itu tidak memenuhi syarat "negara hukum"? Mengapa
SKB soal Ahmadiyyah sedemikian lambatnya? Bukankah hukum berlaku bagi
FPI, juga bagi Ahmadiyyah? Ketika seluruh rekomendasi tentang kesesatan
Ahmadiyyah itu dikalahkan oleh pandangan seorang Adnan Buyung Nasution,
selaku anggota Watimpres, apakah hal itu juga memenuhi keadilan hukum?
Apakah dalam fungsi hukum nasional, posisi Watimpres bisa mengintervensi
kebijakan legal negara? Mengapa SBY tidak mengecam AKKBB yang melakukan
aksi terbuka, padahal kelompok Ahmadiyyah sudah disepakati sesat oleh
Ummat Islam Indonesia dan oleh institusi birokrasi di bawah Kabinet SBY?

Jadi kesan yang muncul, istilah "negara hukum" itu hanya dipakai untuk
mendesak kelompok tertentu. Adapun untuk kelompok lain, konsep ketegasan
hukum bisa ditafsirkan macam-macam. Seorang Adnan Buyung Nasution, dia
bisa disebut pakar hukum ketika melecehkan ormas-ormas Islam dalam kasus
Ahmadiyyah. Tetapi dia akan disebut sebagai "profesional hukum" ketika
membela obligor BLBI, Syamsul Nursalim. Hukum akhirnya hanya sekedar
"kuda tunggangan" belaka.

Keenam, kita merasa kecewa, kesal, marah, benci, mual, emosi, mengutuk,
dst. ketika melihat aktivis-aktivis FPI memukuli peserta aksi AKKBB.
"Nurani kita tersentuh oleh duka lara bak teriris sembilu," begitulah
kata puitisnya. Pokoknya, top tenan dalam soal empati kekerasan ini.

Tetapi pernahkan kita merasa empati dengan Ummat Islam ketika Ahmadiyyah
terus-menerus menodai ajaran Islam? Pernahkah kita terketuk hati ketika
ada yang mengaku Nabi setelah Rasulullah Saw., dia mendakwakan diri
sebagai Al Masih, sebagai Al Mahdi, dan mengajarkan kitab At Tadzkirah
sebagai kitab sucinya? Pernahkah kita marah ketika ajaran-ajaran Islam
dilecehkan oleh orang-orang itu?

Kalau massa AKKBB itu merasa sakit, kecewa, marah, atau sedih, apalah
artinya penderitaan mereka dibandingkan penderitaan yang menimpa
Rasulullah Saw. dan para Shahabat ketika mendakwahkan Islam? Dan
sekarang, ajaran Nabi yang murni dan suci itu, demikian mudahnya
dilecehkan oleh kaum Ahmadiy (pengikut Ahmadiyyah). Sebagai seorang
Muslim, apakah kita tidak berempati kepada penderitaan Rasulullah dan
Shahabat ketika mereka berjuang dan berkorban, sehingga atas hidayah
Allah saat ini kita menjadi Muslim?

Kemurnian ajaran Islam itulah yang sekarang dilecehkan oleh kaum
Ahmadiyyah, pengikut Mirza Ghulam Ahmad laknatullah 'alaih. Bukan
berarti sikap keras atau anarkhis kepada mereka bisa dibenarkan, sebab
bagaimanapun tindakan negara lebih baik, daripada tindakan rakyatnya
sendiri. Tetapi janganlah karena empati kebablasan kepada kaum Ahmadiy
membuat kita lupa penderitaan Rasulullah dan Shahabat ketika mulai
mendakwahkan Islam di masa lalu.

Secara umum, tindak kekerasan tetap salah, siapapun pelakunya. Tetapi
dalam menyikapi tindak tersebut kita harus melihat secara jernih dan
adil. Jangan karena sentimen, atau sudah "kadung kesal" dengan FPI, lalu
kita berbuat zhalim. Bukankah Allah Ta'ala tetap memerintahkan agar kita
selalu berbuat adil. "Janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum,
membuat kalian berbuat tidak adil. Bersikap adil-lah, sebab adil itu
lebih dekat kepada taqwa." (Al Maa'idah: 8).

Wallahu a'lam bisshawaab.


NB:
I agree with him...